Metroterkini.com - Kuasa hukum PT. Riau Andalan Pulp and Paper menyayangkan ketidakpahaman sekelompok orang yang mengatasnamakan Amicus Curiae untuk mempengaruhi proses Peradilan Tata Usaha Negara terkait pembatalan SK Pembatalan Rencana Kerja Usaha oleh Kementerian LHK.
Andi Ryza Fardiansyah menilai pendapat yang disusun oleh para Amici Curiae dalam perkara ini tidak didasarkan pada pemahaman yang komperhensif tentang duduk persoalan yang terjadi dan sistem serta prinsip-prinsip hukum administrasi Negara di Indonesia.
"Pernyataan keprihatinan yang seolah-olah bahwa permohonan yang diajukan oleh PT. RAPP adalah bentuk delegitimasi terhadap PP Gambut sesungguhnya merupakan dalil yang tidak didasarkan logika hukum yang benar," tuturnya, Rabu (20/12).
Lanjutnya, forum peradilan Fiktif Positif di Pengadilan Tata Usaha Negara bukanlah forum judicial review sebuah peraturan perundang-undangan. Konsekuensinya pun tidak akan menghasilkan putusan yang bisa berakibat batalnya sebuah peraturan perundang-undangan.
"Oleh karena itu, permohonan fiktif positif yang diajukan PT. RAPP secara hukum tidak dapat ditafsir sebagai upaya delegitimasi terhadap PP Gambut sebagaimana ketakutan para Amici yang disampaikan dalam press release nya tersebut," tegasnya.
Menurut Andi para Amici seharusnya bisa memahami perbedaan mendasar antara domain Peradilan Tata Usaha Negara dengan Peradilan lainnya, termasuk peradilan perdata dan peradilan pengujian peraturan perundang-undangan.
Dengan pemahaman yang benar Amicus Curiae yang diajukan para Amici dapat hadir sebagai sesuatu yang memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat, bukan malah didasarkan pada pemahaman yang sangat dangkal sehingga berpotensi menyesatkan masyarakat yang awam hukum.
Permohonan Fiktif Positif dalam Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan administratif, tidak dalam rangka untuk menguji hal-hal materiil diluar objek dari permohonan tersebut. Sehingga perdebatan tentang diskursus lingkungan hidup yang bukan merupakan objek dalam permohonan ini seharusnya tidak dapat dijadikan indikator untuk menilai upaya hukum yang dilakukan oleh PT. RAPP.
Begitupula bahwa peradilan administratif tidak akan menguji keabsahan sebuah peraturan perundang-undangan, sehingga tidak mungkin putusan Pengadilan Tata Usaha Negara berefek pada delegitimasi sebuah peraturan perundang-undangan.
Selain itu seharusnya para Amici paham perbedaan paling mendasar antara apa yang dimaksud dengan Gugatan yang bersifat contentiosa dengan Permohonan yang bersifat volunteer. Pemahaman hukum dasar yang dipelajari di setiap fakultas hukum di seluruh Indonesia bahwa Permohonan yang bersifat volunteer adalah forum yang tidak didasarkan pada sengketa sehingga berbeda dari Gugatan yang bersifat contentiosa.
"Oleh karena itu, tidak seharusnya Amici memahami bahwa upaya PT. RAPP dalam mengajukan permohonan adalah upaya perlawanan, melainkan upaya ini adalah upaya legitimasi atas kondisi yang menurut hukum sudah dianggap diterima/dikabulkan yaitu Permohonan Keberatan PT. RAPP melalui surat No. 101/RAPP-DIR/X/2017 yang telah dianggap dikabulkan menurut hukum berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (5) UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan," papar Andi.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat 2 huruf j dan Pasal 77 Ayat (5) UU 30/2014, KLHK wajib menerbitkan keputusan terhadap permohonan sesuai yang diputuskan dalam perkara keberatan/banding. Faktanya, sejak permohonan keberatan tersebut dianggap dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan Pasal 77 Ayat (5) UU 30/2014, KLHK juga tetap abai akan kewajibannya tersebut dan tidak menerbitkan keputusan sebagaimana yang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-Undangan.
"Oleh karena itu, permohonan ini sesungguhnya adalah upaya PT. RAPP untuk membantu KLHK agar dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia," kata Andi.
Kuasa Hukum RAPP juga membantah pernyataan para Amici yang menyatakan bahwa asas non retoraktif tidak bersifat mutlak dan bisa dikalahkan oleh asas lain dengan bobot yang lebih tinggi. Karena sesungguhnya pernyataan ini adalah menyesatkan dan tidak sesuai dengan kaidah dan logika hukum yang pernah dipelajari di setiap fakultas hukum di seluruh Indonesia.
Bahwa kemudian pernyataan para Amici terkait Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tersebut, sesungguhnya telah terbukti di persidangan berdasarkan keterangan saksi fakta yang diajukan oleh KLHK sendiri, bahwa tidak ada satupun keputusan bahkan tindakan yang telah dilakukan oleh KLHK bahkan untuk merespon dan/atau memberikan keputusan terkait permohonan keberatan yang diajukan oleh PT. RAPP.
Senada dengan Andi, Ahli Hukum Administrasi Negara Dian Simatupang menyatakan pembatalan SK memang dimungkinkan dalam Pasal 66 UU Nomor 30 tahun 2014, tetapi perlu diperhatikan mengenai asas umum pemerintahan baik terkait dengan asas prosesual di mana para pihak didengarkan dan diperhatikan secara seksama terlebih dahulu secara lengkap dan tuntas sesuai dengan rangkaian administrasi dan upaya administrasi yang tersedia.
“Upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 adalah hak, dan melahirkan kewajiban badan/pejabat pemerintahan segera menyelesaikan upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf j UU Nomor 30 Tahun 2014 dengan menerbitkan KEPUTUSAN, jadi ketentuannya yang diwajibkan adalah keputusan dan BUKAN TINDAKAN. Sesuai dengan asas contrarius actus setiap keputusan yang dibatalkan tentu dimintakan kembali permohonan penerbitan keputusan yang baru, bukan tindakan karena kalau tindakan berarti tidak contrarius actus (tidak seimbang pencabutan masa diakhiri dengan tindakan),” pungkas Dian.
Jika permohonan pembatalan dijawab dengan tindakan faktual berarti ada dua jenis produk yang dikeluarkan oleh badan/pejabat tesebut yaitu keputusan pembatalan dan tindakan faktual itu sendiri yang diatur dalam Pasal 87 angka a, karena di dalamnya berbeda dalam bentuk antara penetapan tertulis berupa penetapan dan juga tindakan faktual.
Hal ini berarti ada dua tindakan administrasi untuk satu persoalan yang tentu seharusnya terhadap adanya permohonan tersebut bukan dijawab dengan tindakan faktual tetapi dalam Pasal 77 ayat (3) wajib Menetapkan KEPUTUSAN. Dengan demikian jika dikeluarkan tindakan faktual jelas ada kesalahan dalam penerapan contrarius actus. [rls]